Tuesday, 22 March 2016

Dentist and Her Brand Image

I'm not good in English, so I've just writen only the title in English but not the content. LOL.

Dokter gigi yang cantik, mengapa profesimu sering dijauhi oleh pasien? Padahal bila pasien mendekat padamu maka gigi akan terawat dengan baik. Gigi-gigi yang berbaris seolah menjadi daftar penyakit yang kesekian untuk disepelekan. Mengapa engkau hanya didatangi saat lubang gigi sudah parah? Padahal bila engkau tau wahai pasien, merawat gigi berlubang saat belum terasa "nyut-nyut" itu jauh lebih murah.

Dokter gigi yang cantik, sungguh pasienmu ingin kau edukasi dengan baik. Iya dengan baik, karena pada kenyataan, masih banyak masyarakat ini yang buta. Apalah arti slogan kunjungi dokter gigi setiap enam bulan sekali, toh itu tiada digubris. Entah siapa yang ndableg. Yang jelas sampai saat ini bila dilakukan survey bisa jadi hanya 10% penduduk yang melakukan check up rutin itu. Pun edukasi sebenarnya tidak hanya lewat slogan. Saat kontrol  ternyata bisa menjadi sarana edukasi untuk pasienmu. Bimbing mereka dengan telaten, sabar, penuh pengertian. Ajari mereka dengan ilmumu yang luar biasa itu. Anggap mereka anak kecil yang haus akan ilmu gigi sehingga melalui mulutnya, kau akan terbantu dalam hal edukasi pergigian ini. Karena konon katanya, teknik word of mouth adalah marketing gratis yang paling banyak dipercaya calon konsumen.

Tuesday, 7 October 2014

Asisten dan Rasa Syukur

Hidup di Indonesia rasanya sudah sangat lazim apabila memiliki asisten, terlebih bagi seorang ibu. Asisten rumah tangga ini perannya begitu besar. Bagaimana tidak, ketika menjabat sebagai seorang ibu maka berbagai profesi pun menempel padanya. Ibu sebagai istri (teman dan partner suami dalam banyak hal). Ibu sebagai perawat anak dan suami yang lihai menyiapakan kebutuhan keluarga. Ibu sebagai dokter, yang harus paham tentang tata laksana penyakit keluarga. Ibu sebagai manajer keuangan, yang wajib mengerti pos anggaran keluarga dan pintar mengelola sumber keuangan. Ibu sebagai chef yang siap sedia menhidangkan aneka masakan untuk keluarga. Sudah sewajarnya bukan bila ibu ditemani oleh asisten?

Memiliki asisten rumah tangga merupakan suatu nikmat dariNya yang terkadang lupa untuk kita syukuri. Sering memarahi, sering menggerutu, sering merasa kesal, bahkan sering untuk sulit berbagi. Asisten juga manusia, yang punya rasa dan pikiran. Kita lupa bahwa ia adalah sosok manusia yang rela meninggalkan kampung halaman dan keluarganya demi mengabdi kepada kita. Ia rela mencuci dan menyeterika baju yang memakainya pun ia tak pernah. Ia rela membersihkan rumah yang memilikinya pun ia tak pernah. Ia rela menyiapkan segala keperluan memasak yang mencicipinya pun ia hanya berani mengambil sedikit. Ia rela membuat kamar mandi harum yang menikmatinya di pagi dan sore pun ia tak pernah.

Asisten tetaplah manusia seperti kita sebagai majikan. Kekurangan pun menempel pada dirinya. Jika terjadi huru hara di rumah, seolah-olah ia lah biang keladinya. Masakan gosong, mungkin kita yang kurang teliti dalam mengolah makanan. Rumah berantakan, mungkin kita yang tidak bisa menjaga kebersihan rumah. Hasil cucian piring masih kotor, mungkin kita yang menggunakannya terlalu bernapsu sehingga noda pun sulit dihilangkan.

Bersyukur. Wajib kita lakukan untuk nikmat Allah yang satu ini. Ia ada karena sesuai kebutuhan kita, bukan karena keinginan kita. Karena keinginan datangnya dari napsu sementara kebutuhan datangnya dari hati yang bersih dan itu hanya akan diberi olehNya.

Sunday, 28 September 2014

Memaknai Travelling

Sebagian orang ada yang rela menyisihkan uang untuk keperluan travelling. Entah dalam rangka wisata religi, wisata kuliner, atau wisata alam. Terlebih saat ini banyak fasilitas transportasi, penginapan, dan bahkan konsultan wisata. Dengan berbagai kemudahan tadi rasanya mustahil bila orang merasa malas untuk bertravelling.

Sejatinya, melalui travelling kita bisa lebih banyak mengagumi dan mensyukuri nikmat Allah. Keindahan alam, kekayaan sumber daya alam, atau kita juga bisa bersyukur dengan melihat kondisi sekitar.

Siapa yg tidak kagum dengan jernihnya Pantai Padang-Padang di Bali? Hingga rumput laut pun masih mau hidup di perairan ini. Kura-kura dan penyu yang masih banyak terdapat di Bali, kedua hewan ini juga pantas kita kagumi. Lucu ketika berenang dengan bentuk yang sangat unik.

Aneka olahan makanan, juga menjadi salah satu dari sekian puluh ribu nikmatNya. Sate lilit di Bali atau makanan khas negeri kincir di Bogor bisa memanjakan lidah. Ah, malu rasanya apabila manusia tidak berpikir atas nikmat Allah. Dengan karunia pikiran, manusia menjadi mudah untuk mengolah aneka sumber daya alam milikNya.

Lain halnya ketika mata ini mengamati kondisi masyarakat sekitar tempat kita berwisata. Masyarakat yang masih buta huruf, yang hanya mengenal perkebunan, peternakan atau perikanan. Malu rasanya bila masih tak mengingatNya, karena sedari kecil kita telah mengenyam pendidikan yang lebih. Yang tak kalah memilukan, ketika menyadari bahwa kita telah menjadi muslim sedari lahir. Ini sungguh karuniaNya yang tidak terkira.

Travelling memang bukan untuk berhura-hura menghabiskan uang. Ada makna lebih dalam disana bagi manusia yang berpikir. Jadi jangan sampai di hari tua nanti kita menyesal karena belum merasakan nikmatnya travelling. Salam!

Thursday, 16 January 2014

The Stepfather, a Film

Di Indonesia, biasanya yang menjadi bahan cerita; entah novel, film, atau sinetron itu pasti stepmother  ya, alias ibu tiri. Di film Amerika, stepfather atau ayah tiri justru dibicarakan. Berawal dari iseng pindah-pindah channel di TV nasional, saya menemukan film dengan judul menarik: The Stepfather. Saya yang sedang menjalankan peran di dunia motherhood, otomatis tune in.

Awalnya, saya pikir ini film drama. Tetapi lama didengarkan dari backsound filmnya, sering bernada horor. Penasaran dengan alur film, saya curang, googling, LOL. Tapi tetep ya, penasaran tingkat dewa, jadi masih lanjut aja nonton filmnya. 

Usut punya usut,  The Stepfather ini film remake, yang dibuat tahun 2009. Produk pop culture kalau sampai di-remake itu saya asumsikan menarik, dan ternyata benar, ini film trully interesting (menurut perspektif saya), hehe. Kalau diusut lebih dalam lagi, film aslinya ada 3 sequel: The Stepfather (1987) Stepfather II (1989) dan Stepfather 3 (1992). Wah, panjang ya sampai 3 sequel, seperti film I Know what You did Last Summer saja. Film ini ternyata based on a true story, dari seorang buronan Amerika, John List. Istilahnya America's Most Wanted gitu.*

Di postingan ini, saya ga pengen cerita yang serem-serem dari film tadi. Namanya saja buronan, pastinya kejahatan yang dibuat parah kan ya. Lagipula, kalau mau tau alurnya, banyak kok link film ini di Google. Dan sepertinya sudah terlambat banget untuk membahas review The Stepfather, lima tahun sudah berlalu. Kalau boleh meminjam istilah Raditya Dika di iklan, "kudet" kurang update, hahaha.

Nah, saya pengen kembali ke istilah motherhood tadi, yang kemudian saya hubungkan dengan film ini. Kalau ada stepfather artinya seorang wanita telah menjadi janda, memiliki anak dan menikah lagi dengan pria lain, bukan? Satu hal yang menjadi moral of the story di film ini, bahwa dampak dari perceraian itu BESAR, terlebih dalam Islam, perceraian itu tidak disukai Allah. Sekian!


*Maaf kalo referensinya hanya Wikipedia. Ini blog ya, bukan paper, skripsi, atau tesis, hehe. 

Sunday, 12 January 2014

Lapangan Tipes in Memoriam

Ini tahun 2014. Rasanya masih belum terlambat untuk mengenang sebuah lapangan di Kota Solo yang dulu sering saya sambangi. Kebetulan saat SMP, Lapangan Tipes rutin saya kunjungi satu minggu sekali saat pelajaran olahraga bersama kawan-kawan dan guru. Betapa waktu telah berputar sedemikian cepatrnya, 15 tahun berlalu dan saya tersadar setiap berbelanja di Makro atau Lotte Mart, yang dibangun di atas bekas tanah Lapangan Tipes ini. 

Dulu, saat lapangan ini akan dilenyapkan untuk dijadikan sebagai pusat perbelanjaan, saya benar-benar tidak peduli.  Dengan usia belia yang saya miliki kala itu, rasanya belum sanggup untuk mengamati realitas sosial yang sepertinya menjadi kewajiban untuk saya amati ketika ada di bangku kuliah. 

Memori berputar. Dulu, lapangan ini banyak terdapat gundukan-gundukan, yang kala itu, mitosnya, lapangan ini adalah bekas kuburan. Ketika guru olahraga menginstruksikan untuk pemanasan, lari berputar keliling lapangan, ada sebagian dari saya dan kawan-kawan yang enggan untuk mendekat gundukan. Memang terkesan rimbun penuh semak, sehingga rasa takut pun kerap datang.

Tak hanya sekolah kami, beberapa anak TK, siswa SD, dan SMA di sekitar Tipes ini juga turut menjadikan Lapangan Tipes  sebagai lapangan serbaguna. Dimana lagi kami berolahraga bila tidak di tanah lapang ini? Sekolah di tengah kota dengan bangunan gedung yang penuh, memang seringnya tidak meyisakan tanah lapang untuk kami para murid berolahraga. Dan kini, lapangan ini tinggal kenangan. Kemana lagi para siswa di sekitar Tipes ini berolahraga? Entah.

Monday, 6 January 2014

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus


picture was edited by Alvika, with textgram application
"Allah dulu, Allah lagi, Allah terus."

Saya mengenal kalimat positif ini pertama kali dari salah satu teman yang aktif di kajian, InsyaAllah. Teman saya ini, Mbak WN, dalam perbincangannya pernah menceritakan esensi mengenai kalimat "Allah dulu, Allah lagi, Allah terus." Saya ketika itu hanya bisa mengernyitkan dahi dan seakan menganggap angin lalu. Waktu pun berlalu, saya diketemukan lagi oleh Allah dengan Mbak WN di aplikasi WhatsApp dan beliau selalu memberi status dengan "Allah dulu, Allah lagi, Allah terus." Karena merasa malu untuk bertanya apa maknanya, maka saya pun googling.

Dari sekian banyak link yang tampil, ternyata kalimat positif ini mengarah pada kajian Ustadz Yusuf Manshur (YM). Saya kemudian berusaha membaca dan bahkan menonton video rekaman kajian Ustadz YM.

Satu hal yang bisa saya simpulkan dari kajian ini bahwa, apapun yang menimpa kita, baik itu kesenangan maupun kesedihan, ungkapkan lah pada Allah terlebih dahulu dan Allah-lah yang paling utama. Manusiawi kalau sedang bersedih, biasa kita mendatangi ibu atau sahabat kita, namun dari Ustadz YM ini saya belajar, "Allah dulu, Allah lagi, Allah terus." Caranya? Datangi Rumah-Nya (Masjid) dan Sholat lalu berdoa, mengadu kepada-Nya.

Sebegitu kuatnya kalimat positif ini untuk diri saya, pada akhirnya saya sampai googling kembali. Kali ini saya mencari beberapa image tentang "Allah dulu, Allah lagi, Allah terus", dan alhamdulilah nyantol pada blog ini. Saya ucapkan terimakasih untuk empunya blog yang telah bersusah payah mendesain kalimat "Allah dulu, Allah lagi, Allah terus" dalam gambar yang apik. Saya mohon ijinnya untuk menggunakan desain-nya ya Mbak/Mas, untuk saya pasang pada cover akun-akun saya. Maturnuwun.

Akhir kata, yang harus selalu kita ingat: "Allah dulu, Allah lagi, Allah terus."

Sunday, 5 January 2014

Optimisme ala Joko Wi

Rabu tanggal 1 kemarin, saya menonton Mata Najwa di Metro TV. Itu pun karena ada reminder dari ayah mertua dan teman semasa kuliah dahulu. Mau nonton TV saja pake reminder ya? Memang, karena bagi saya ini sedikit spesial. Mata Najwa hadir di kampus almamater saya.

Tamu yang diundang pun sedang menjadi trending topic saat ini, salah satunya Joko Wi, mantan walikota Solo. Di postingan ini, saya tidak ingin bercerita mengenai kehebatan atau prestasi Joko Wi dalam memimpin sebuah kota. Toh kita bisa meihat atau membaca di beberapa media mengenai sepak terjang beliau.

Satu hal yang membuat saya merasa klik dengan pemikiran beliau di acara Mata Najwa itu adalah tentang OPTIMISME. Iya, beliau menutup perbincangan di acara yang kondang akan pertanyaan tajam itu dengan ajakan untuk menampilkan kebaikan. Dalam benak saya, bisa saja kata-kata itu diganti dengan optimisme.

"Kalau ada anak SD yang baik ditampilkan, anak SMP yang baik ditayangkan, anak SMA yang baik-baik juga ditayangkan, sampai pada anak kuliah yang baik-baik juga ditampilkan, saya yakin Indonesia ini akan penuh kebaikan." Simpel ya, tetapi bermakna dalam (bagi saya).

Ya kita lihat saja isi media sekarang. Begitu TV menyala, rasanya hanya ingin mengelus dada. Apakah memang tidak ada prestasi yang bisa ditayangkan? Atau memang sengaja mem-blow up yang buruk-buruk supaya aura negatif setiap orang muncul? Berita anak kuliah misalnya, tidak ada yang tidak mesum. Semua penggrebekan. Darah muda, agent of change, penerus bangsa, seyogyanya mencitrakan dirinya sebagai orang yang kreatif dan berpestasi bukan? Nah mana ini, semangat optimisme yang muncul di media? Sudah tidak sanggupkah meliput prestasi-prestasi penerus bangsa ini?